Senin, 14 Maret 2011

Ketika si Film Masih SD


image source: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfwlnaa5QeTc90IdjmkA-sZ8AXNKc2Vc3WnoG07tic9n5-C3klr1YYg0N8dfK9D_W4DZsLDrtR7toaVE3iVXnmEruZPln0hGvk20kc6r1_2E_63fKZ_BerJNE0AHovug3cXLQLMhMcd0k/s1600/SD+pelangi.jpg

Beberapa waktu lalu, saya mendapat email dari seorang rekan di Medan yang berisi tentang pemutaran film. Ada sembilan film dari 38 film hasil buatan anak-anak yang diputar dalam acara pemutaran film tersebut. Acara ini adalah salah satu bagian dari kegiatan Festival Film Anak (FFA) yang rutin diadakan tiap tahun.

Saya agak sedikit kaget dengan email tersebut. Betapa film sekarang sudah sangat membumi dan dekat dengan siapa saja, tak terkecuali anak-anak. Apalagi dekat di sini bukan hanya dalam artian sebagai penikmat film tetapi juga sebagai pembuat film itu sendiri. Handycam dan seperangkat komputer bukan lagi hal yang sulit untuk dikuasai anak-anak. Dengan pendampingan yang baik dari orang tua, hasilnya puluhan judul film terlahir dari kreatifitas mereka. Tentu menjadi hal yang sangat membanggakan ketika sekumpulan anak mampu menuangkan ide dan gagasan mereka dalam sebuah film.

Film. Demikianlah adanya saat ini. Digandrungi banyak orang karena menawarkan hal berbeda yang tidak didapat dari media massa lainnya. Kekuatan narasi yang berpadu dengan teknik pengolahan audio visual menjadikan indra kita sulit untuk menolak kehadirannya. Film 2012 misalnya, mata kita tidak mau berkedip lama-lama takut kehilangan momen-momen luar biasa yang memanjakan mata. Pun ketika menonton inception. Tak ada obrolan sama sekali, bahkan handphone juga dimatikan agar tidak menggangu konsentrasi saat menelan sedikit semi sedikit cerita yang agak rumit namun fantastik.

Dari dulu hingga sekarang, film tak pernah mati, meski mengalami pasang surut. Perkembangannya cukup bagus jika diurut sampai ujung. Tentu yang berada di urutan awal perkembangan film adalah tentang teknologi rekam sendiri. Panjang mengenai hal ini karena penemuan alat rekam gerak tidak bisa terlepas dari teknologi-teknologi lain seperti kamera yang dikembangkan Daguerre dan alat rekam suara oleh Edison.

Menarik ketika pertama kali film tercetus justru dari kebutuhan masyarakat waktu itu untuk mendokumentasikan finish lomba pacuan kuda yang rawan menimbulkan masalah. Dari sinilah muncul ide untuk membuat gambar bergerak dengan menyusun beberapa frame yang diambil continues sehingga menimbulkan kesan gerak, tentu masih tanpa suara.

Tahun 1896 adalah kali pertama sebuah film menjadi konsumsi publik. The kiss sangat kontroversial dengan menampilkan adegan ciuman selama 47 detik. Film karya William Heise ini hanya menampilkan gambar singkat dengan single shoot kamera dari arah depan. Adegannya sangat sederhana, sex value menjadi bumbu yang membuat adegan antar dua insan lawan jenis ini menjadi menarik. Meski hanya beberapa detik, efeknya luar biasa. Banyak yang mengkritik film ini terlalu porno untuk dipublikasikan, di sisi lain tidak sedikit yang mulai mencoba-coba untuk membuat film yang lebih bagus. Dari sini generasi pertama film telah lahir, berkembang untuk memasuki generasi berikutnya yang lebih maju.

Hanya dalam waktu tujuh tahun, pada tahun 1903 The Great Train Robbery hadir sebagai film yang bisa merepresentasikan generasinya. Film yang berangkat dari kisah nyata ini mengisahkan tentang sebuah permapokan besar di sebuah stasiun kereta api. Film ini lebih kompleks dari film-film sebelumnya, selain durasi lebih panjang teknik pengambilan gambar juga sudah mulai bervariasi meski masih sangat kaku.

Melihat perkembangan pesat dalam industri film, muncul film pertama yang mengaduk-aduk emosi penonton dengan narasi memilukan. Adegan-adegan dramatis tentang pemberontakan pelaut Potemkin dan kekejaman militer di tangga Odessa sarat akan sarkasme dan propaganda. Dalam film ini Sergei M Eisenstein mulai memperkenalkan teknik montase yaitu menggabung-gabungkan beberapa scene secara cepat dalam sebuah adegan. Begitu juga dengan gerak kamera yang mulai mengikuti gerak adegan, berbeda dengan film-film sebelumnya yang hanya diam. Beberapa angle juga mulai digunakan seperti bird eye level.

Dua film berikutnya adalah Citizen Kane dan Bicycle Thieves. Meski masih hitam putih, kedua film yang muncul pada tahun 40an ini sudah bisa dinikmati secara nyaman dari sisi audio maupun visual. Citizen Kane memperkenalkan alur flashback yang menjadikan film semakin bervariasi dan rumit. Eksplorasi besar-besaran juga terjadi dari sisi teknis pengambilan gambar seperti focussing object, variasi angle, perpaduan musik dan suara tokoh dan pergerakan arah kamera yang semakin luwes. Begitu juga dari sisi cerita, ide tentang teka-teki rosebud mampu menghasilkan film dengan durasi dua jam. Sedangkan Bicycle Thieves adalah film yang hadir dengan membawa konsep kesederhanaan. Jalan cerita yang sangat humanis dan mengalir, film ini mampu mengetuk hati penonton.

Seperti halnya manusia, film juga mengalami perkembangan. Berawal dari sebuah ide pendokumentasian pacuan kuda hingga menjadi sebuah jalinan narasi berdurasi dua jam. Dari awal kemunculan hingga generasi Bicycle Thieves, film masih terus mencoba-coba dan belajar untuk menjadi lebih baik. Ada tahap-tahap dimana film harus melewati satu per satu tahap itu menuju kedewasaannya, maka tak heran jika saya menyebut era itu sebagai masa Sekolah Dasar (SD)-nya.

Rabu, 23 Februari 2011

Poligami dalam Visualisasi Sinclair


Image Source: http://www.viiphoto.com/showstory.php?nID=1186

Berbicara masalah gender, nampaknya poligami tidak akan pernah habis untuk dibahas. Silih berganti, berita-berita tentang poligami meramaikan media. Gaungnya tidak pernah berhenti seiring dengan semakin banyaknya aktifis gender dan masih banyaknya praktek-praktek poligami di masyarakat.

Sebuah liputan yang cukup mengejutkan dipublikasikan setahun lalu oleh Stephanie Sinclair. Dia adalah pewarta foto lepas yang mendapat kesempatan untuk mendokumentasikan kehidupan keluarga poligami di Amerika Serikat. Tahun lalu, foto-fotonya telah diterbitkan oleh National Geographic dan New York Times. Tak ayal, liputan ini menjadi perbincangan hangat karena praktek poligami dilarang (ilegal) di Amerika Serikat.

Sinclair mengabadikan ratusan foto keluarga Joe Jessop, seorang penganut Kristen Fundamentalis di Hildale, Amerika Serikat. The Fundamentalist Church of Jesus Christ of Latter-Day Saint (FLDS), adalah sekte yang muncul pada tahun 1990an akibat permasalahan poligami dengan gereja maenstreem Mormon.

Foto-foto Sinclair selalu menarik menurut saya, perspektif yang dibawanya seringkali mengusik dan berbeda dari kebanyakan fotografer lain. Dia sangat piawai mengawal isu-isu yang seringkali mendera kaumnya. Sebagai seorang fotografer wanita, dia memiliki kepekaan lebih ketika meliput masalah poligami, kekerasan terhadap perempuan dan isu-isu gender lain. Foto-foto yang ia dapat sama sekali tidak terlihat adanya jarak antara dia dengan subjek fotonya. Semua terlihat alami dan sangat intim. Lihat saja beberapa foto yang memperlihatkan subjek wanitanya terlihat tidak terganggu ketika dipotret di ruang-ruang pribadi mereka.

Selain itu, foto-fotonya juga sangat santun, ketika poligami seringkali diidentikkan dengan penindasan terhadap hak-hak kaum wanita, Sinclair tidak terjebak dengan subjektifitas ini. Hampir kesemua fotonya menampilkan visual yang indah-indah, keceriaan dan kesenangan, namun dia tetap tidak melupakan bingkai poligaminya. Sehingga, foto-foto ini terlihat sangat dalam, apalagi dikontekskan dengan negara dimana subjeknya tinggal, Amerika Serikat yang notabene sangat liberal dan menjunjung tinggi persamaan Hak Azasi Manusia.

Lagi-lagi saya mengatakan bahwa Sincalir memang hebat dan sangat beruntung menangani project ini. Dia adalah satu-satunya fotografer yang berhasil mendekati dan berhasil membuat liputan foto tentang keluarga ini, pun hasilnya sangat luar biasa. Saya belum mendapatkan referensi yang cukup banyak tentang bagaimana akhirnya Sinclair mendapatkan akses untuk mendokumentasikan kehidupan keluarga poligami ini. Yang pasti, terpublikasikannya foto-foto ini sedikit banyak akan mempengaruhi kehidupan keluarga ini. Beberapa pria pelaku poligami dari sekte yang sama dengan Joe sudah diadili di persidangan. Bahkan Warren Jeffs, pemimpin sekte FLDS masuk dalam sepuluh buronan FBI yang paling dicari-cari. Saya hanya tidak habis pikir bagaimana akhirnya Joe mau kesehariannya didokumentasikan oleh Sinclair padahal jelas-jelas ini sangat berbahaya bagi keluarga besarnya. Tidak ada sedikitpun ekspresi kegelisahan yang ditampilkan dalam visual keluarga Joe. Bahkan Joe sendiri terlihat sangat menikmati atas posisinya sebagai subjek, terlihat sekali dalam sebuah frame yang menampilkan dia beserta kelima istri, 46 anak dan 239 cucunya. Terlebih salah satu quotenya menegaskan hal ini "I've had a blessed life. I wouldn't trade places with anyone."

Tak heran jika Sinclair manjadi satu-satunya fotografer wanita di jajaran nama-nama besar seperti James Nachtwey dan John Stanmeyer di VII Photo Agency, karya-karyanya selalu berbeda, unik, dan menarik untuk dikaji. Liputannya tentang poligami adalah satu dari banyak isu gender yang ia kawal dengan pandangan wanitanya. Beberapa karyanya bahkan mendapat penghargaan-penghargaan bergengsi seperti Worldpess Photo dan UNICEF's Photo of the Year.

Referensi:
http://www.stephaniesinclair.com/bio.php
http://www.viiphoto.com/showstory.php?nID=1186
http://ngm.nationalgeographic.com/2010/02/polygamists/sinclair-photography

Selasa, 22 Februari 2011

Saya, Bantul dan November 1828


image source:https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjylcrISIXnIf2U-jhI9zuVCMNeHmy9jRMQW3A-gKAmhq2HiLwM4UjvYhX2E1_iYvctMXCOqAu0-WCKVDbhtLdkr1PnPsQM_l0nFngw7VhezzRtAMEFptBDV_5QCtHPzE7XlZb2LXrsT7BQ/s1600/November_1828.jpg

Awal ketika film ini mulai diputar, saya sempat berfikir film ini sejenis Angling Dharma. Atmosfer yang dibawa memang mirip, tampilan tradisional dengan iringan gamelan khas Jawa. Bahkan di awal saya mulai bosan karena opening terlalu lama. Lihat saja ketika arak-arakan pasukan berjalan melewati persawahan, di scene ini kejenuhan mulai terasa, padahal film baru dimulai.
Satu hal yang membuat saya tetap antusias menonton film dari awal hingga akhir, setting tempat yang digunakan untuk pembuatan film ini berada di Bantul, tempat dimana saya tinggal. Tentu pemilihan lokasi pengambilan gambar ini memang disesuakan dengan kondisi real waktu itu dimana perjuangan memang berada di kawasan Yogyakarta, termasuk Bantul. Ada magnet lebih yang membawa unsur kedekatan psikologis ketika film ini diputar.
Cerita-cerita tentang Pangeran Diponegoro sudah lama saya dapatkan, bahkan jauh sebelum guru SD saya bercerita di kelas IPS. Bagaimana tidak, Goa Selarong, patilasan tempat Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya bersembunyi ketika dikejar Belanda hanya sak plinthengan dari rumah saya. Belum lagi kultur masyarakat yang menyakralkan Pangeran Diponegoro. Setiap tahun sekali, diadakan grebeg Selarong sebagai wujud penghormatan kepada sang pejuang. Maka tak heran, film ini menarik bagi saya karena kedekatan yang telah terbangun, meski di awal sedikit jenuh dengan opening yang terlalu panjang.

image source:http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2010/01/23/1750226p.jpg
Terlepas dari latar belakang di atas, film November 1828 produksi akhir dekade tujuh puluhan ini terbilang bagus. Pemilahan pemeran yang brilian menjadikan setiap tokoh yang ada di film ini sangat berkarakter. Kromoludiro yang diperankan Maruli Sitompul misalnya, diperankan sangat apik dengan pembawaan yang khas. Begitu juga El Manik yang berperan sebagai Van Aken, kapten Belanda yang tidak suka terhadap cara-cara Van den Borst, atasannya, yang memperlakukan warga pribumi dengan sewenang-wenang. Karakternya cukup menonjol mengingat peran yang dibawanya unik. Keputusan Teguh Karya menampilkan tokoh ini tepat menurut saya. Secara psikologis tokoh Van Aken sangat kuat. Pengkhianatannya pada Belanda, menggeser perannya ke arah protagonis. Kedekatan emosional dengan penonton inilah yang menjadikan karakternya berbeda. Terlebih, tokoh Van Aken menambah daftar nama orang Belanda yang bersimpati kepada warga pribumi, karena biasanya hanya Douwes Dekker saja yang disebut dalam buku sejarah. Padahal pada kenyataannya, tidak sedikit karakter-karakter sejenis namun tidak pernah terungkap. Setidaknya hal ini mengubah paradigma bahwa tidak semua warga Belanda itu penjajah.
Di samping itu, ada beberapa hal yang kurang menurut saya. Pertama, ada beberapa scene yang sedikit lebay. Adegan pengejaran Bondan oleh pasukan belanda misalnya. Setelah ketahuan memasukkan racun ke dalam makanan, dia dikejar beberapa pasukan. Secara nalar, harusnya dalam tempo singkat harusnya langsung tertangkap, toh larinya hanya berputar-putar di dalam markas Belanda. Sayangnya, Teguh terlalu lama menampilkan scene ini, sehingga kesannya malah mirip adegan kejar-kejaran konyol di kartun Tom and Jerry.
Kedua, tidak munculnya Pangeran Diponegoro. Jujur dari awal saya menunggu-nunggu tokoh ini muncul, tetapi hingga akhir namanya saja yang kerap disebut. Entah apa alasan Teguh tidak menampilkan Pangeran Diponegoro. Saya menduga mungkin Teguh memang sengaja lebih menekankan pada perjuangan rakyat jelata sehingga kemunculannya dirasa tidak perlu. Namun hal ini malah membuat saya berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan karena penokohan Pangeran Diponegoro yang sangat sakral sehingga tidak ada yang berani memerankannya. Saya jadi teringat Grebeg Selarong yang diadakan tiap tahun di desa saya, meski untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro, namun tokoh ini sekarang tidak pernah muncul. Karena dulu pernah ketika tokoh ini dimunculkan, dua tahun berturut-turut kuda yang ditunggangi tokoh Pangeran Dipenegoro selalu mengamuk. Jangan-jangan karena seperti ini juga??haha..

image source:http://belajarsejarah.com/upload/selarong.jpg

Film: Pencetak Uang dan Penjajahan Ideologi


image source: http://noscadgie.files.wordpress.com/2010/01/imperialisme_global.jpg

Tidak berlebihan apa yang dikatakan oleh seorang Perancis melalui Leo Rosten bahwa lewat film, Amerika Serikat telah berpengaruh terhadap penjajahan budaya di dunia. Faktanya, saat ini Hollywood memang tengah merebut pangsa pasar film di seluruh penjuru dunia. Ya, hal ini tak lepas juga dari peran pemerintah Amerika Serikat yang berdiri di belakang mendukung industri hiburan ini untuk mendapatkan keuntungan materi dan penjajahan ideologi.

Cohen berkesimpulan bahwa film-film hollywood sudah menggunakan teknik tinggi (lanjutan) dan lebih banyak dipublikasikan ke seluruh dunia melalui media massa. Berbeda dengan film-film Eropa yang percepatannya lama dalam berkembang, sehingga kepopulerannya kalah dibanding film-film Amerika.

Cohen juga berpendapat bahwa ada perbedaan besar antara sekolah-sekolah film yang dimiliki Eropa dan Amerika. Di Universitas Krakow Polandia misalnya, kurikulum menekankan pada seni liberal dan humaniora. Praktisnya, pelatihan-pelatihan diarahkan pada teknik-teknik penggunaan kamera dan lighting. Berbeda dengan sekolah film di Amerika Serikat. Beberapa sekolah film terbaik Amerika Serikat seperti UCLA dan USCNYU lebih “melatih” daripada “mendidik” sejak awal.

Terjadi perubahan besar sejak awal abad ke 20 dimana bioskop Amerika betul-betul serius dijadikan ladang bisnis. Para pengusaha menyusun formula untuk mengubah “bentuk seni” baru ke dalam komoditas yang menarik pangsa pasar besar. Dimulai dengan menyempurnakan sisi teknologi animasi. Layaknya sebuah produk makanan, pengemasan menjadi hal yang sangat penting untuk menarik pembeli. Penggunaan kantong warna-warni dengan gambar dan tulisan yang mencolok akan menambah daya jual. Begitu juga yang terjadi di Hollywood, efek visual digarap sesempurna mungkin. Hasilnya seperti saat ini, tidak ada yang meragukan lagi kehalusan efek 3D dan jernihnya sound buatan Hollywood. Walau mungkin secara narasi kadang kalah dengan film-film buatan Eropa, tapi bagi para penonton awam yang kurang memperhatikan sisi ini, mereka keburu takjub dengan efek visual yang ditampilkan.

Disamping sisi visual, Hollywood menerapkan sebuah rencana bisnis. Ketika para petinggi studio menyampaikan ide film, mereka membuat semacam formula. Yaitu dengan memberikan script kemudian memerintahkan untuk membuat pertunjukan yang memikat dan membuat kesan baik dalam diri penonton. Sehingga ketika nanti rilis film lain dari studio yang sama, mereka akan berbondong-bondong untuk menonton kembali.

Sisi kenyamanan bioskop juga tidak lupa disentuh. Kursi empuk, pendingin ruangan, dan layar super lebar menjadi hal standar yang wajib dimiliki oleh setiap pemilik jasa pemutaran film. Bahkan hal kecil seperti tersedianya minuman ringan dan sebungkus popcorn akan menjadi aneh kalau tiba-tiba saja dihilangkan. Ya, semua seakan sudah melekat dan membudaya. Budaya siapa? Hollywood tentunya. Persoalan macam popcorn ini memang bukan hal yang krusial, tetapi bisa dijadikan contoh bahwa dari hal-hal yang kecil ini saja Hollywood sudah sangat dekat dengan kehidupan kita.

Review Artikel Saul Landau, The Film Industry : Business and Ideology
http://www.counterpunch.org/landau08022003.html

Senin, 21 Februari 2011

Iron Man=Hollywood=AS??


Image source: http://colinresponse.files.wordpress.com/2008/01/american20ironman1st21.jpg

Film adalah bagian dari sistem ekonomi, juga bagian dari sistem ideologis. Sedangkan bioskop dan seni merupakan cabang dari ideologi tersebut (Jean-Luc Comolli dan Jean Narboni)

Setidaknya, itulah gambaran yang ada saat ini mengenai perfilman dunia. Bahwasanya,tidak ada film yang bisa terlepas dari unsur ideologis penciptanya. Seperti kita tahu bahwa film sebagai salah satu bentuk media massa memiliki peran yang sangat besar dalam penyebaran suatu paham, terutama saat ini dimana penyebaran paham lewat jalan perang yang membabi buta sudah tidak musim lagi.

Comoli dan Narboni berkesimpulan, bahwasnya setiap film merupakan politik. Film mencerminkan ideologi tertentu, entah itu dalam bentuk paham, kepercayaan(agama), gaya hidup maupun hal-hal lain yang melatarbelakangi produksi film. Bisa saja pesan-pesan ideologis ini disampaikan secara implisit melalui simbol-simbol tertentu, atau memang secara terang-terangan sebuah film mengaku mengusung ideologi tertentu dan ditampilkan secara eksplisit.

Iron Man misalnya, sekuel yang disutradarai Jon Favreau ini selain menyuguhkan keunggulan efek visual, juga sarat akan pesan-pesan ideologis. Sangat kuat mengusung ideologi Amerika, seperti halnya saudara-saudara se-ibu berlabel Hollywood.

Sosok Stark sebagai pemain utama seakan-akan mewakili hegemoni Hollywood atas perfilman dunia. Stark memiliki kekayaan yang melimpah ruah, ketampanan dan kecerdikan menggambarkan keadaan Hollywood yang mempunyai sumber daya berlebih dari sisi financial dan teknologi. Sisi kemanusian yang ditunjukkan Stark yang seperti suka minum dan wanita adalah pesan implisit dari glamournya budaya Hollywood yang serba mewah. Belum lagi posisi Stark sebagai pemilik pabrik senjata yang menyokong militer Amerika dan peran gandanya sebagai hero, manusia berbaju besi. Nampak sangat superior dan berpengaruh. Ya, tak ubahnya hollywood yang adigdaya menelusup disetiap sendi-sendi perfilman seluruh dunia.

Akan lebih politis lagi ketika tidak hanya dikontekskan pada Hollywood, tetapi Amerika sendiri. Bisa dikatakan, Iron Man juga perwujudan dari Amerika yang memiliki peran besar dalam kancah dunia. Cerita-cerita mengenai persaingan dengan Russia juga tergambar dari film ini. Wajar saja, film ini hasil adaptasi komik Marvel produksi tahun 60an yang mana saat itu perang ideologi sedang gencar-gencarnya disuarakan oleh kedua kubu. Iron Man seakan mendengungkan kembali suara-suara perang dingin dengan kontrasnya penokohan Vanko sebagai tokoh antagonis. Vanko yang keturunan Russia digambarkan sebagai sosok yang kotor, penuh tatto, gelandangan teler yang keluar masuk penjara dan berhati busuk ingin menguasai dunia. Sangat berkebalikan ketika disandingkan dengan Stark yang digambarkan tampan dan rapi menggunakan pakaian necis, pembela kebenaran pula. Jelas, ini adalah gambaran kemenangan Amerika atas Russia, bahkan seluruh dunia, yang digambarkan melalui penggunaan setting Afghanistan dalam beberapa scene. Tidak hanya kemenangan ekonomi dan politis, tetapi juga hal krusial macam pengembangan teknologi militer seperti nuklir.

Demikianlah fakta yang terjadi. Negara sekuat Amerika Serikat tidak hanya menguasai meja-meja perundingan. Penanaman ideologi pada film-film mereka dirasa cukup ampuh untuk menduniakan apa yang mereka imani. Juga, cara ini cukup aman dan menyedot banyak perhatian karena pengemasan efek visual kelas satu.

Review artikel Landon Palmer , Culture Warrior: A Marxist Reading of ‘Iron Man 2′
http://www.filmschoolrejects.com/features/culture-warrior-a-marxist-reading-of-iron-man-2.php