Rabu, 23 Februari 2011

Poligami dalam Visualisasi Sinclair


Image Source: http://www.viiphoto.com/showstory.php?nID=1186

Berbicara masalah gender, nampaknya poligami tidak akan pernah habis untuk dibahas. Silih berganti, berita-berita tentang poligami meramaikan media. Gaungnya tidak pernah berhenti seiring dengan semakin banyaknya aktifis gender dan masih banyaknya praktek-praktek poligami di masyarakat.

Sebuah liputan yang cukup mengejutkan dipublikasikan setahun lalu oleh Stephanie Sinclair. Dia adalah pewarta foto lepas yang mendapat kesempatan untuk mendokumentasikan kehidupan keluarga poligami di Amerika Serikat. Tahun lalu, foto-fotonya telah diterbitkan oleh National Geographic dan New York Times. Tak ayal, liputan ini menjadi perbincangan hangat karena praktek poligami dilarang (ilegal) di Amerika Serikat.

Sinclair mengabadikan ratusan foto keluarga Joe Jessop, seorang penganut Kristen Fundamentalis di Hildale, Amerika Serikat. The Fundamentalist Church of Jesus Christ of Latter-Day Saint (FLDS), adalah sekte yang muncul pada tahun 1990an akibat permasalahan poligami dengan gereja maenstreem Mormon.

Foto-foto Sinclair selalu menarik menurut saya, perspektif yang dibawanya seringkali mengusik dan berbeda dari kebanyakan fotografer lain. Dia sangat piawai mengawal isu-isu yang seringkali mendera kaumnya. Sebagai seorang fotografer wanita, dia memiliki kepekaan lebih ketika meliput masalah poligami, kekerasan terhadap perempuan dan isu-isu gender lain. Foto-foto yang ia dapat sama sekali tidak terlihat adanya jarak antara dia dengan subjek fotonya. Semua terlihat alami dan sangat intim. Lihat saja beberapa foto yang memperlihatkan subjek wanitanya terlihat tidak terganggu ketika dipotret di ruang-ruang pribadi mereka.

Selain itu, foto-fotonya juga sangat santun, ketika poligami seringkali diidentikkan dengan penindasan terhadap hak-hak kaum wanita, Sinclair tidak terjebak dengan subjektifitas ini. Hampir kesemua fotonya menampilkan visual yang indah-indah, keceriaan dan kesenangan, namun dia tetap tidak melupakan bingkai poligaminya. Sehingga, foto-foto ini terlihat sangat dalam, apalagi dikontekskan dengan negara dimana subjeknya tinggal, Amerika Serikat yang notabene sangat liberal dan menjunjung tinggi persamaan Hak Azasi Manusia.

Lagi-lagi saya mengatakan bahwa Sincalir memang hebat dan sangat beruntung menangani project ini. Dia adalah satu-satunya fotografer yang berhasil mendekati dan berhasil membuat liputan foto tentang keluarga ini, pun hasilnya sangat luar biasa. Saya belum mendapatkan referensi yang cukup banyak tentang bagaimana akhirnya Sinclair mendapatkan akses untuk mendokumentasikan kehidupan keluarga poligami ini. Yang pasti, terpublikasikannya foto-foto ini sedikit banyak akan mempengaruhi kehidupan keluarga ini. Beberapa pria pelaku poligami dari sekte yang sama dengan Joe sudah diadili di persidangan. Bahkan Warren Jeffs, pemimpin sekte FLDS masuk dalam sepuluh buronan FBI yang paling dicari-cari. Saya hanya tidak habis pikir bagaimana akhirnya Joe mau kesehariannya didokumentasikan oleh Sinclair padahal jelas-jelas ini sangat berbahaya bagi keluarga besarnya. Tidak ada sedikitpun ekspresi kegelisahan yang ditampilkan dalam visual keluarga Joe. Bahkan Joe sendiri terlihat sangat menikmati atas posisinya sebagai subjek, terlihat sekali dalam sebuah frame yang menampilkan dia beserta kelima istri, 46 anak dan 239 cucunya. Terlebih salah satu quotenya menegaskan hal ini "I've had a blessed life. I wouldn't trade places with anyone."

Tak heran jika Sinclair manjadi satu-satunya fotografer wanita di jajaran nama-nama besar seperti James Nachtwey dan John Stanmeyer di VII Photo Agency, karya-karyanya selalu berbeda, unik, dan menarik untuk dikaji. Liputannya tentang poligami adalah satu dari banyak isu gender yang ia kawal dengan pandangan wanitanya. Beberapa karyanya bahkan mendapat penghargaan-penghargaan bergengsi seperti Worldpess Photo dan UNICEF's Photo of the Year.

Referensi:
http://www.stephaniesinclair.com/bio.php
http://www.viiphoto.com/showstory.php?nID=1186
http://ngm.nationalgeographic.com/2010/02/polygamists/sinclair-photography

Selasa, 22 Februari 2011

Saya, Bantul dan November 1828


image source:https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjylcrISIXnIf2U-jhI9zuVCMNeHmy9jRMQW3A-gKAmhq2HiLwM4UjvYhX2E1_iYvctMXCOqAu0-WCKVDbhtLdkr1PnPsQM_l0nFngw7VhezzRtAMEFptBDV_5QCtHPzE7XlZb2LXrsT7BQ/s1600/November_1828.jpg

Awal ketika film ini mulai diputar, saya sempat berfikir film ini sejenis Angling Dharma. Atmosfer yang dibawa memang mirip, tampilan tradisional dengan iringan gamelan khas Jawa. Bahkan di awal saya mulai bosan karena opening terlalu lama. Lihat saja ketika arak-arakan pasukan berjalan melewati persawahan, di scene ini kejenuhan mulai terasa, padahal film baru dimulai.
Satu hal yang membuat saya tetap antusias menonton film dari awal hingga akhir, setting tempat yang digunakan untuk pembuatan film ini berada di Bantul, tempat dimana saya tinggal. Tentu pemilihan lokasi pengambilan gambar ini memang disesuakan dengan kondisi real waktu itu dimana perjuangan memang berada di kawasan Yogyakarta, termasuk Bantul. Ada magnet lebih yang membawa unsur kedekatan psikologis ketika film ini diputar.
Cerita-cerita tentang Pangeran Diponegoro sudah lama saya dapatkan, bahkan jauh sebelum guru SD saya bercerita di kelas IPS. Bagaimana tidak, Goa Selarong, patilasan tempat Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya bersembunyi ketika dikejar Belanda hanya sak plinthengan dari rumah saya. Belum lagi kultur masyarakat yang menyakralkan Pangeran Diponegoro. Setiap tahun sekali, diadakan grebeg Selarong sebagai wujud penghormatan kepada sang pejuang. Maka tak heran, film ini menarik bagi saya karena kedekatan yang telah terbangun, meski di awal sedikit jenuh dengan opening yang terlalu panjang.

image source:http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2010/01/23/1750226p.jpg
Terlepas dari latar belakang di atas, film November 1828 produksi akhir dekade tujuh puluhan ini terbilang bagus. Pemilahan pemeran yang brilian menjadikan setiap tokoh yang ada di film ini sangat berkarakter. Kromoludiro yang diperankan Maruli Sitompul misalnya, diperankan sangat apik dengan pembawaan yang khas. Begitu juga El Manik yang berperan sebagai Van Aken, kapten Belanda yang tidak suka terhadap cara-cara Van den Borst, atasannya, yang memperlakukan warga pribumi dengan sewenang-wenang. Karakternya cukup menonjol mengingat peran yang dibawanya unik. Keputusan Teguh Karya menampilkan tokoh ini tepat menurut saya. Secara psikologis tokoh Van Aken sangat kuat. Pengkhianatannya pada Belanda, menggeser perannya ke arah protagonis. Kedekatan emosional dengan penonton inilah yang menjadikan karakternya berbeda. Terlebih, tokoh Van Aken menambah daftar nama orang Belanda yang bersimpati kepada warga pribumi, karena biasanya hanya Douwes Dekker saja yang disebut dalam buku sejarah. Padahal pada kenyataannya, tidak sedikit karakter-karakter sejenis namun tidak pernah terungkap. Setidaknya hal ini mengubah paradigma bahwa tidak semua warga Belanda itu penjajah.
Di samping itu, ada beberapa hal yang kurang menurut saya. Pertama, ada beberapa scene yang sedikit lebay. Adegan pengejaran Bondan oleh pasukan belanda misalnya. Setelah ketahuan memasukkan racun ke dalam makanan, dia dikejar beberapa pasukan. Secara nalar, harusnya dalam tempo singkat harusnya langsung tertangkap, toh larinya hanya berputar-putar di dalam markas Belanda. Sayangnya, Teguh terlalu lama menampilkan scene ini, sehingga kesannya malah mirip adegan kejar-kejaran konyol di kartun Tom and Jerry.
Kedua, tidak munculnya Pangeran Diponegoro. Jujur dari awal saya menunggu-nunggu tokoh ini muncul, tetapi hingga akhir namanya saja yang kerap disebut. Entah apa alasan Teguh tidak menampilkan Pangeran Diponegoro. Saya menduga mungkin Teguh memang sengaja lebih menekankan pada perjuangan rakyat jelata sehingga kemunculannya dirasa tidak perlu. Namun hal ini malah membuat saya berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan karena penokohan Pangeran Diponegoro yang sangat sakral sehingga tidak ada yang berani memerankannya. Saya jadi teringat Grebeg Selarong yang diadakan tiap tahun di desa saya, meski untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro, namun tokoh ini sekarang tidak pernah muncul. Karena dulu pernah ketika tokoh ini dimunculkan, dua tahun berturut-turut kuda yang ditunggangi tokoh Pangeran Dipenegoro selalu mengamuk. Jangan-jangan karena seperti ini juga??haha..

image source:http://belajarsejarah.com/upload/selarong.jpg

Film: Pencetak Uang dan Penjajahan Ideologi


image source: http://noscadgie.files.wordpress.com/2010/01/imperialisme_global.jpg

Tidak berlebihan apa yang dikatakan oleh seorang Perancis melalui Leo Rosten bahwa lewat film, Amerika Serikat telah berpengaruh terhadap penjajahan budaya di dunia. Faktanya, saat ini Hollywood memang tengah merebut pangsa pasar film di seluruh penjuru dunia. Ya, hal ini tak lepas juga dari peran pemerintah Amerika Serikat yang berdiri di belakang mendukung industri hiburan ini untuk mendapatkan keuntungan materi dan penjajahan ideologi.

Cohen berkesimpulan bahwa film-film hollywood sudah menggunakan teknik tinggi (lanjutan) dan lebih banyak dipublikasikan ke seluruh dunia melalui media massa. Berbeda dengan film-film Eropa yang percepatannya lama dalam berkembang, sehingga kepopulerannya kalah dibanding film-film Amerika.

Cohen juga berpendapat bahwa ada perbedaan besar antara sekolah-sekolah film yang dimiliki Eropa dan Amerika. Di Universitas Krakow Polandia misalnya, kurikulum menekankan pada seni liberal dan humaniora. Praktisnya, pelatihan-pelatihan diarahkan pada teknik-teknik penggunaan kamera dan lighting. Berbeda dengan sekolah film di Amerika Serikat. Beberapa sekolah film terbaik Amerika Serikat seperti UCLA dan USCNYU lebih “melatih” daripada “mendidik” sejak awal.

Terjadi perubahan besar sejak awal abad ke 20 dimana bioskop Amerika betul-betul serius dijadikan ladang bisnis. Para pengusaha menyusun formula untuk mengubah “bentuk seni” baru ke dalam komoditas yang menarik pangsa pasar besar. Dimulai dengan menyempurnakan sisi teknologi animasi. Layaknya sebuah produk makanan, pengemasan menjadi hal yang sangat penting untuk menarik pembeli. Penggunaan kantong warna-warni dengan gambar dan tulisan yang mencolok akan menambah daya jual. Begitu juga yang terjadi di Hollywood, efek visual digarap sesempurna mungkin. Hasilnya seperti saat ini, tidak ada yang meragukan lagi kehalusan efek 3D dan jernihnya sound buatan Hollywood. Walau mungkin secara narasi kadang kalah dengan film-film buatan Eropa, tapi bagi para penonton awam yang kurang memperhatikan sisi ini, mereka keburu takjub dengan efek visual yang ditampilkan.

Disamping sisi visual, Hollywood menerapkan sebuah rencana bisnis. Ketika para petinggi studio menyampaikan ide film, mereka membuat semacam formula. Yaitu dengan memberikan script kemudian memerintahkan untuk membuat pertunjukan yang memikat dan membuat kesan baik dalam diri penonton. Sehingga ketika nanti rilis film lain dari studio yang sama, mereka akan berbondong-bondong untuk menonton kembali.

Sisi kenyamanan bioskop juga tidak lupa disentuh. Kursi empuk, pendingin ruangan, dan layar super lebar menjadi hal standar yang wajib dimiliki oleh setiap pemilik jasa pemutaran film. Bahkan hal kecil seperti tersedianya minuman ringan dan sebungkus popcorn akan menjadi aneh kalau tiba-tiba saja dihilangkan. Ya, semua seakan sudah melekat dan membudaya. Budaya siapa? Hollywood tentunya. Persoalan macam popcorn ini memang bukan hal yang krusial, tetapi bisa dijadikan contoh bahwa dari hal-hal yang kecil ini saja Hollywood sudah sangat dekat dengan kehidupan kita.

Review Artikel Saul Landau, The Film Industry : Business and Ideology
http://www.counterpunch.org/landau08022003.html

Senin, 21 Februari 2011

Iron Man=Hollywood=AS??


Image source: http://colinresponse.files.wordpress.com/2008/01/american20ironman1st21.jpg

Film adalah bagian dari sistem ekonomi, juga bagian dari sistem ideologis. Sedangkan bioskop dan seni merupakan cabang dari ideologi tersebut (Jean-Luc Comolli dan Jean Narboni)

Setidaknya, itulah gambaran yang ada saat ini mengenai perfilman dunia. Bahwasanya,tidak ada film yang bisa terlepas dari unsur ideologis penciptanya. Seperti kita tahu bahwa film sebagai salah satu bentuk media massa memiliki peran yang sangat besar dalam penyebaran suatu paham, terutama saat ini dimana penyebaran paham lewat jalan perang yang membabi buta sudah tidak musim lagi.

Comoli dan Narboni berkesimpulan, bahwasnya setiap film merupakan politik. Film mencerminkan ideologi tertentu, entah itu dalam bentuk paham, kepercayaan(agama), gaya hidup maupun hal-hal lain yang melatarbelakangi produksi film. Bisa saja pesan-pesan ideologis ini disampaikan secara implisit melalui simbol-simbol tertentu, atau memang secara terang-terangan sebuah film mengaku mengusung ideologi tertentu dan ditampilkan secara eksplisit.

Iron Man misalnya, sekuel yang disutradarai Jon Favreau ini selain menyuguhkan keunggulan efek visual, juga sarat akan pesan-pesan ideologis. Sangat kuat mengusung ideologi Amerika, seperti halnya saudara-saudara se-ibu berlabel Hollywood.

Sosok Stark sebagai pemain utama seakan-akan mewakili hegemoni Hollywood atas perfilman dunia. Stark memiliki kekayaan yang melimpah ruah, ketampanan dan kecerdikan menggambarkan keadaan Hollywood yang mempunyai sumber daya berlebih dari sisi financial dan teknologi. Sisi kemanusian yang ditunjukkan Stark yang seperti suka minum dan wanita adalah pesan implisit dari glamournya budaya Hollywood yang serba mewah. Belum lagi posisi Stark sebagai pemilik pabrik senjata yang menyokong militer Amerika dan peran gandanya sebagai hero, manusia berbaju besi. Nampak sangat superior dan berpengaruh. Ya, tak ubahnya hollywood yang adigdaya menelusup disetiap sendi-sendi perfilman seluruh dunia.

Akan lebih politis lagi ketika tidak hanya dikontekskan pada Hollywood, tetapi Amerika sendiri. Bisa dikatakan, Iron Man juga perwujudan dari Amerika yang memiliki peran besar dalam kancah dunia. Cerita-cerita mengenai persaingan dengan Russia juga tergambar dari film ini. Wajar saja, film ini hasil adaptasi komik Marvel produksi tahun 60an yang mana saat itu perang ideologi sedang gencar-gencarnya disuarakan oleh kedua kubu. Iron Man seakan mendengungkan kembali suara-suara perang dingin dengan kontrasnya penokohan Vanko sebagai tokoh antagonis. Vanko yang keturunan Russia digambarkan sebagai sosok yang kotor, penuh tatto, gelandangan teler yang keluar masuk penjara dan berhati busuk ingin menguasai dunia. Sangat berkebalikan ketika disandingkan dengan Stark yang digambarkan tampan dan rapi menggunakan pakaian necis, pembela kebenaran pula. Jelas, ini adalah gambaran kemenangan Amerika atas Russia, bahkan seluruh dunia, yang digambarkan melalui penggunaan setting Afghanistan dalam beberapa scene. Tidak hanya kemenangan ekonomi dan politis, tetapi juga hal krusial macam pengembangan teknologi militer seperti nuklir.

Demikianlah fakta yang terjadi. Negara sekuat Amerika Serikat tidak hanya menguasai meja-meja perundingan. Penanaman ideologi pada film-film mereka dirasa cukup ampuh untuk menduniakan apa yang mereka imani. Juga, cara ini cukup aman dan menyedot banyak perhatian karena pengemasan efek visual kelas satu.

Review artikel Landon Palmer , Culture Warrior: A Marxist Reading of ‘Iron Man 2′
http://www.filmschoolrejects.com/features/culture-warrior-a-marxist-reading-of-iron-man-2.php

Jumat, 18 Februari 2011

Identitas Bangsa dalam Cita Rasa Hollywood, Kapankah??


image source:http://fc05.deviantart.net/fs71/f/2010/057/3/f/budaya_indonesia_1_by_royyan.jpg

Hampir semua sepakat, Hollywood memang yang paling terdepan dalam dunia perfilman. Dari berbagai sisi Hollywood menang mutlak daripada film-film Eropa atau yang lainnya, apalagi film Indonesia. Kemampuannya mencipta berbagai variasi efek visual belum bisa ditandingi oleh siapapun. Ditilik dari segi manajemen, Hollywood sudah dipegang oleh orang-orang hebat dengan bisnis plan mumpuni, menjadikannya sebagai industri yang menghasilkan jutaan dollar.

Hebatnya, kondisi ini tidak hanya melanda negara-negara tetangga Amerika Serikat, tetapi hampir seluruh dunia mengalami apa yang dinamakan dengan “demam Hollywood”. Bisa dikatakan tidak ada negara diseluruh dunia yang tidak terkena terpaan Hollywood, hanya besaran dampak saja yang membedakan.

Kondisi ini jelas menimbulkan ketidakstabilan identitas bangsa dimana terjadi pergesekan antara budaya asing yang dibawa Hollywood dengan budaya lokal. Ada tiga kemungkinan ketiga pergesekan itu terjadi dimana kemungkinan paling parah adalah hancurnya budaya asli akibat dominasi budaya asing. Jika hal ini terjadi, keberagaman budaya dunia lama kelamaan akan terkikis dan menjadi sebuah budaya global bernama Hollywood. Mungkin saja kan terjadi?

Terjadi atau tidaknya kemungkinan diatas bergantung pada proteksi yang dilakukan pemerintah. Ada banyak cara untuk membatasi gempuran budaya ini. Penetapan quota misalnya, dengan cara ini jumlah film yang masuk dibatasi pada angka-angka tertentu sesuai kebijakan pemerintah. Cara ini pernah dilakukan oleh Eropa ketika Hollywood tak terbendung lagi menguasai pangsa pasar film Eropa. Mereka menetapkan aturan yang tertuang dalam General Agreement Tariffs and Trade (GATT) yang intinya membatasi quota film impor. Cara ini memang cukup efektif untuk mengurangi jumlah tayangan-tayangan Hollywood, tetapi secara pengaruh ideologis cara ini tidak bisa membendung, hanya menghambat saja, karena pada kenyataannya film-film tersebut tetap diputar meski dalam kurun waktu yang lebih lama.

Bagaimana dengan pemboikotan produk Hollywod?? Tentu akan sangat sulit dan jika memungkinkan pun, cara ini terlihat tidak bijak. Di era informasi seperti saat ini pemboikotan macam ini tentu akan menuai banyak kontroversi. Apalagi yang diboikot adalah produk Hollywood yang memegang strata tertinggi dalam dunia film. Misalkan memang bioskop-bioskop nasional dilarang memutar film-film Hollywood, akses melalui internet yang begitu mudah akan digunakan demi memuaskan hasrat menonton.

Mungkin cara yang paling tepat adalah dengan memajukan industri film nasional. Hal ini tentu tidaklah mudah mengingat hal ini bukanlah urusan satu dua orang. Semua pihak yang terkait mulai dari para sineas, aktor, pemilik bioskop dan pemerintah haruslah menyadari bahwasanya tujuan ini tidak akan tercapai jika tidak ada “gotong royong” diantara mereka. Akan menjadi sia-sia ketika para sineas sudah bersatu padu menggenggam misi yang sama memajukan film nasional tanpa ada dukungan pemerintah yang mengatur setiap kebijakan negara. Boleh lah menyontek sedikit rahasia sukses Hollywood yang juga bergantung pada kebijakan pemerintah Amerika Serikat. Keseriusan Amerika Serikat menggarap lini ini sebagai sebuah industri hiburan terbayar sudah dengan dollar yang setiap saat mengalir bak air hujan turun dari langit.

Meski terlihat utopis, jika semua pihak yang terkait bahu membahu menyatukan misi yang jelas kedepan, bukan tidak mungkin suatu saat film nasional mampu bersaing dengan Hollywood. Dengan demikian, sisi kualitas visual seperti pada film-film Hollywod akan tetap diperoleh tanpa ada bayang-bayang ideologi bangsa lain. Malah akan semakin nasionalis dengan bumbu-bumbu identitas bangsa yang disematkan. Ya, itulah yang ditunggu-tunggu, film dengan teknologi kelas Hollywood tetapi buatan lokal yang sarat akan nilai-nilai kebangsaan.

Review artikel NATIONAL CINEMA, POLITICAL ECONOMY, AND IDEOLOGY
http://www.filmreference.com/encyclopedia/Independent-Film-Road-Movies/National-Cinema-NATIONAL-CINEMA-POLITICAL-ECONOMY-AND-IDEOLOGY.html

Kamis, 17 Februari 2011

Eksplorasi Teknik di balik Teka-Teki Rosebud


Rosebud. Awal yang bagus untuk menggiring penonton menanti-nanti ada apa dibalik kata-kata ajaib ini. Ya, 120 menit film ini hanya menceritakan tentang teka-teki rosebud yang diucapkan seorang milyader Amerika bernama Kane sebelum kematiannya.

Tidak ada yang spesial dari film ini jika kita bandingkan dengan film-film terkini, bahkan cenderung membosankan. Hal ini wajar, setiap hari kita sudah teracuni dengan produk-produk Hollywood yang memanjakan indra kita secara sempurna.

Memang, film ini bukan untuk dinikmati, tapi untuk dikaji. Banyak hal yang bisa ditelisik jika kita melihat dari sudut pandang teknis pembuatan film dikontekskan dengan waktu. Citizen Kane menjadi salah satu tonggak awal kemajuan teknis pembuatan film, eksplorasi yang dilakukan Orson Welles sang sutradara menjadikan film ini nampak berbeda dan evolusioner di zamannya.

Di awal, Orson Welles memperlihatkan teknik focussing object dalam film ini dengan menampilkan sebuah papan yang tergantung di pagar. Sebuah teknik yang digunakan untuk memberikan penekanan terhadap sebuah benda yang dianggap sebagai point of interest dari sebuah scene. Meski hanya di bagian ini saja penggunaan teknik focussing, pun tidak sempurna, setidaknya film ini telah memperkenalkan adanya variasi-variasi lain dalam pengambilan sebuah adegan.

Begitu juga dengan eksplorasi sudut pengambilan gambar(angle). Meski eye level masih sangat dominan, namun gerak kamera mengikuti gerak adegan sudah bisa dibilang luwes dan tepat. Misal ketika adegan yang memperlihatkan kemegahan Xanadu, gerakan kamera dan zooming out terasa sangat tepat menciptakan efek dramatis. Begitu juga dengan beberapa angle unik seperti saat scene pembantu Kane memasuki kamar dari sudut pandang refleksi benda mengkilap yang jatuh di lantai.


Flashback dipadu dengan durasi yang panjang mungkin menjadi hal yang paling revolusioner kala itu mengingat sebelumnya belum ada satupun film yang menggunakan alur maju mundur, lama pula. Sayangnya, dalam penerapan alur ini masih belum bagus sehingga cerita terkesan berantakan dan membingungkan. Kebosanan juga sudah memuncak sebelum mencapai klimaks di akhir cerita. Apalagi backsound yang digunakan juga masih monoton khas film lawas dengan alat musik yang terdengar menyayat-nyayat.

Kelemahan itu tentu wajar adanya melihat waktu itu belum ada teknologi canggih seperti sekarang. Secara keseluruhan teknis pembuatan film, Orson Welles berhasil memanfaatkan teknologi yang ada untuk membuat karya luar biasa yang menginspirasi sineas-sineas lain untuk terus mengeksplor berbagai macam teknik.

Dari isi cerita, Citizen Kane sangat bagus membawakan pesan “harta bukan segala-galanya”. Keterpurukan Kane tak lain karena dia menganggap bahwa dengan uang dia mampu memberikan kebahagian kepada istri-istri dan anaknya, namun pada kenyataannya, satu per satu mereka pergi meninggalkan Kane. Akhirnya, dalam kesendirian menjelang detik-detik kematiaanya, Kane baru menyadari bahwa kebahagiaan yang ia bangun berlandaskan materi itu semu. Hingga ia kembali menerawang jauh ke belakang di masa kecilnya, ketika sebuah kebahagian hadir hanya karena sebuah papan seluncur bertuliskan rosebud.

image source:
http://www.edzards-filmriss.de/wp-content/uploads/2010/07/citizen-kane-poster.jpg
http://www.oddfilms.com/blog/media/Citizen-Kane-globe.jpg

The Bicycle Thieves: Ketika Korban Menjadi Pemeran


Ladri di Biciclette, sebuah film neorealis tahun 40an yang diangkat dari kehidupan sehari-hari, sarat makna dengan segala kesederhanaannya. Ladri di Biciclette atau yang lebih populer disebut Bicycle Thieves merupakan film buatan Vittoria De Sica yang menceritakan tentang keadaan Italia pasca perang dunia kedua. Fokus kepada sebuah keluarga miskin yang mati-matian mempertahankan harta berharganya, sepeda. Meski hanya mengangkat hal yang remeh temeh, justru di sisi inilah yang mendekatkan film ini dengan penontonnya. Bolehlah kita mengatakan kalo inception itu keren, alurnya tidak beraturan, perlu ekstra berfikir untuk mencernanya, tetapi inception jelas kalah jauh dalam hal kedekatan dengan penonton. Inception mengangkat hal-hal abstrak tentang konsep mimpi, sesuatu yang jauh dari angan-angan manusia, sedangkan Bicycle Thieves terlalu jujur dengan cerita pencuri sepeda yang mungkin saja kita bisa mengalaminya.

Tidak ada efek-efek komputer yang maha canggih, tidak ada artis seksi macam Cameron Diaz, tidak ada lighting-lighting buatan, dan tidak ada – tidak ada lain yang ada pada film-film mutakhir. Lagi-lagi tentang kesederhanaan, film berdurasi 93 menit ini tidak menyuguhkan scene yang amazing, masih menggunakan film hitam putih. Lamberto Maggiorani sebagai pemeran utama dan aktor-aktor lainnya dibiarkan tampil natural tanpa makeup dalam film ini. Setting Itali sebagai negara yang kalah perang sepertinya mampu menampilkan scene-scene lebih dramatis daripada efek-efek komputer nan canggih. Begitu juga pemeran yang terlibat, mereka bukanlah manusia-manusia yang bisa dikatakan menarik secara mata bak artis-artis hollywod.

Film ini bearawal ketika Antonio Ricci yang diperankan oleh Lamberto Maggiorani mendapatkan pekerjaan sebagai penempel poster. Masalah pertama muncul saat pekerjaan yang dilimpahkan kepadanya mewajibkan untuk memiliki sepeda. Ricci yang tidak memiliki sepeda pulang dengan wajah muram karena takut kesempatan yang didapatnya akan sirna diambil orang lain. Di sini, Maria istri Ricci yang diperankan oleh Lianella Carell tampil begitu menyentuh dengan menjual semua sprei untuk ditukar dengan sepeda.

Naasnya, dihari pertama Ricci bekerja, sepeda yang dibeli dengan susah payah tersebut digondol pencuri ketika Ricci sedang bekerja menempel poster. Posisinya yang berada di atas tangga menguntungkan pencuri bertopi Jerman untuk segera melesat melarikan diri hanya dalam sekejap mata. Ketika itu juga Ricci dengan sekuat tenaga mengejar pencuri sepeda dengan berlari, menumpang mobil lewat, hingga pengejarannya nampak sia-sia.


Scene-scene berikutnya manampilkan usaha keras Ricci dan anaknya Bruno menyusuri Roma dengan harapan sepeda itu bakal ditemukan. Dibantu temannya, Ricci mendatangi pasar barang bekas, dengan teliti mereka perhatikan satu persatu semua barang ditempat itu. Sampai akhirnya dia melihat kakek tua sedang bertransaksi dengan seseorang yang ia duga sebagai pencuri sepeda. Kejar-kejaran pun terjadi, sayangnya pencuri tersebut tidak tertangkap.

Ricci yang mulai emosi mendatangi kakek-kakek tadi dan memaksanya untuk menunjukkan dimana pencuri itu berada. Akhirnya kakek tersebut mau buka mulut, Ricci mendatangi pencuri sepeda itu dan melabraknya. Untuk kesekian kali Ricci harus menerima kenyataan, pencuri tersebut sangat licik dengan pura-pura sakit, orang-orang yang mulai berkerumun tidak percaya bahwa pencuri itu mencuri sepeda Ricci. Polisi yang dipanggil Bruno juga tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada bukti yang menguatkan.

Film ini berakhir tragis dengan aksi Ricci yang pada akhirnya memerankan posisi pencuri itu sendiri. Frustasi dengan cobaan yang datang bertubi-tubi, Ricci melihat ada kesempatan untuk mencuri sebuah sepeda yang diparkir di sudut kota yang sepi. De Sica memberikan ending yang sangat bagus dengan kegagalan pencuri amatir ini. Terlebih ketika scene yang memperlihatkan Bruno menangis terisak melihat ayahnya dikeroyok massa. Beruntung si pemilik sepeda memaafkan Ricci karena tidak tega melihat Bruno menangis.

Natural, simpel, sederhana dan dekat itulah gambaran tepat untuk mendeskripsikan film ini. Dari situlah kekuatan film jujur ini. Tidak salah jika film ini mendapatkan banyak penghargaan bergengsi kelas dunia, bahkan sebagai film terbaik sepanjang masa.

image source:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyRaW00csQOqGdBTXrTc86ujMnBpmUIzsUr_BvOXbkx8X5BkHBdxaoVz0sj9ALJ2sJUHfWIKo8-k4oUHMgFZ4VY3cUP_y6LznUAFaOMDicPK_dU7egf3ubUqpuMWZcsnEafj4rXKSz9Zes/s1600/BICYCLE+THIEF.jpg
http://www.moviediva.com/MD_root/MDimages/Copy_of_BikeT2.jpg

Selasa, 01 Februari 2011

Sego Jagung Mbah Joyo

Di pinggir jalan dekat Alun-alun Temanggung, seorang nenek berumur 80 tahun sedang ‘khusyuk’ meracik makanan. Menggunakan pincuk (terbuat dari daun pisang yang dilapisi koran), Mbah Joyo menyajikan makanan khas Temanggung yang sudah sangat jarang ditemui, sego jagung. Jagung giling rebus, sayur pepaya muda, tahu dan ikan asin dicampur jadi satu.

Sudah dua puluh tahun lebih Mbah Joyo berjualan sego jagung. Awalnya, Mbah Joyo berjalan keliling kota menjajakan dagangannya, namun sejak taun 80an mulai menetap di depan pertokoan dekat Alun-alun Temanggung. Langganannya banyak, bahkan tidak sedikit yang berasal dari luar kota.

Silahkan mampir, dijamin JOSS!! #gurihgurihgalau hihiiiii