Jumat, 18 Februari 2011

Identitas Bangsa dalam Cita Rasa Hollywood, Kapankah??


image source:http://fc05.deviantart.net/fs71/f/2010/057/3/f/budaya_indonesia_1_by_royyan.jpg

Hampir semua sepakat, Hollywood memang yang paling terdepan dalam dunia perfilman. Dari berbagai sisi Hollywood menang mutlak daripada film-film Eropa atau yang lainnya, apalagi film Indonesia. Kemampuannya mencipta berbagai variasi efek visual belum bisa ditandingi oleh siapapun. Ditilik dari segi manajemen, Hollywood sudah dipegang oleh orang-orang hebat dengan bisnis plan mumpuni, menjadikannya sebagai industri yang menghasilkan jutaan dollar.

Hebatnya, kondisi ini tidak hanya melanda negara-negara tetangga Amerika Serikat, tetapi hampir seluruh dunia mengalami apa yang dinamakan dengan “demam Hollywood”. Bisa dikatakan tidak ada negara diseluruh dunia yang tidak terkena terpaan Hollywood, hanya besaran dampak saja yang membedakan.

Kondisi ini jelas menimbulkan ketidakstabilan identitas bangsa dimana terjadi pergesekan antara budaya asing yang dibawa Hollywood dengan budaya lokal. Ada tiga kemungkinan ketiga pergesekan itu terjadi dimana kemungkinan paling parah adalah hancurnya budaya asli akibat dominasi budaya asing. Jika hal ini terjadi, keberagaman budaya dunia lama kelamaan akan terkikis dan menjadi sebuah budaya global bernama Hollywood. Mungkin saja kan terjadi?

Terjadi atau tidaknya kemungkinan diatas bergantung pada proteksi yang dilakukan pemerintah. Ada banyak cara untuk membatasi gempuran budaya ini. Penetapan quota misalnya, dengan cara ini jumlah film yang masuk dibatasi pada angka-angka tertentu sesuai kebijakan pemerintah. Cara ini pernah dilakukan oleh Eropa ketika Hollywood tak terbendung lagi menguasai pangsa pasar film Eropa. Mereka menetapkan aturan yang tertuang dalam General Agreement Tariffs and Trade (GATT) yang intinya membatasi quota film impor. Cara ini memang cukup efektif untuk mengurangi jumlah tayangan-tayangan Hollywood, tetapi secara pengaruh ideologis cara ini tidak bisa membendung, hanya menghambat saja, karena pada kenyataannya film-film tersebut tetap diputar meski dalam kurun waktu yang lebih lama.

Bagaimana dengan pemboikotan produk Hollywod?? Tentu akan sangat sulit dan jika memungkinkan pun, cara ini terlihat tidak bijak. Di era informasi seperti saat ini pemboikotan macam ini tentu akan menuai banyak kontroversi. Apalagi yang diboikot adalah produk Hollywood yang memegang strata tertinggi dalam dunia film. Misalkan memang bioskop-bioskop nasional dilarang memutar film-film Hollywood, akses melalui internet yang begitu mudah akan digunakan demi memuaskan hasrat menonton.

Mungkin cara yang paling tepat adalah dengan memajukan industri film nasional. Hal ini tentu tidaklah mudah mengingat hal ini bukanlah urusan satu dua orang. Semua pihak yang terkait mulai dari para sineas, aktor, pemilik bioskop dan pemerintah haruslah menyadari bahwasanya tujuan ini tidak akan tercapai jika tidak ada “gotong royong” diantara mereka. Akan menjadi sia-sia ketika para sineas sudah bersatu padu menggenggam misi yang sama memajukan film nasional tanpa ada dukungan pemerintah yang mengatur setiap kebijakan negara. Boleh lah menyontek sedikit rahasia sukses Hollywood yang juga bergantung pada kebijakan pemerintah Amerika Serikat. Keseriusan Amerika Serikat menggarap lini ini sebagai sebuah industri hiburan terbayar sudah dengan dollar yang setiap saat mengalir bak air hujan turun dari langit.

Meski terlihat utopis, jika semua pihak yang terkait bahu membahu menyatukan misi yang jelas kedepan, bukan tidak mungkin suatu saat film nasional mampu bersaing dengan Hollywood. Dengan demikian, sisi kualitas visual seperti pada film-film Hollywod akan tetap diperoleh tanpa ada bayang-bayang ideologi bangsa lain. Malah akan semakin nasionalis dengan bumbu-bumbu identitas bangsa yang disematkan. Ya, itulah yang ditunggu-tunggu, film dengan teknologi kelas Hollywood tetapi buatan lokal yang sarat akan nilai-nilai kebangsaan.

Review artikel NATIONAL CINEMA, POLITICAL ECONOMY, AND IDEOLOGY
http://www.filmreference.com/encyclopedia/Independent-Film-Road-Movies/National-Cinema-NATIONAL-CINEMA-POLITICAL-ECONOMY-AND-IDEOLOGY.html

Kamis, 17 Februari 2011

Eksplorasi Teknik di balik Teka-Teki Rosebud


Rosebud. Awal yang bagus untuk menggiring penonton menanti-nanti ada apa dibalik kata-kata ajaib ini. Ya, 120 menit film ini hanya menceritakan tentang teka-teki rosebud yang diucapkan seorang milyader Amerika bernama Kane sebelum kematiannya.

Tidak ada yang spesial dari film ini jika kita bandingkan dengan film-film terkini, bahkan cenderung membosankan. Hal ini wajar, setiap hari kita sudah teracuni dengan produk-produk Hollywood yang memanjakan indra kita secara sempurna.

Memang, film ini bukan untuk dinikmati, tapi untuk dikaji. Banyak hal yang bisa ditelisik jika kita melihat dari sudut pandang teknis pembuatan film dikontekskan dengan waktu. Citizen Kane menjadi salah satu tonggak awal kemajuan teknis pembuatan film, eksplorasi yang dilakukan Orson Welles sang sutradara menjadikan film ini nampak berbeda dan evolusioner di zamannya.

Di awal, Orson Welles memperlihatkan teknik focussing object dalam film ini dengan menampilkan sebuah papan yang tergantung di pagar. Sebuah teknik yang digunakan untuk memberikan penekanan terhadap sebuah benda yang dianggap sebagai point of interest dari sebuah scene. Meski hanya di bagian ini saja penggunaan teknik focussing, pun tidak sempurna, setidaknya film ini telah memperkenalkan adanya variasi-variasi lain dalam pengambilan sebuah adegan.

Begitu juga dengan eksplorasi sudut pengambilan gambar(angle). Meski eye level masih sangat dominan, namun gerak kamera mengikuti gerak adegan sudah bisa dibilang luwes dan tepat. Misal ketika adegan yang memperlihatkan kemegahan Xanadu, gerakan kamera dan zooming out terasa sangat tepat menciptakan efek dramatis. Begitu juga dengan beberapa angle unik seperti saat scene pembantu Kane memasuki kamar dari sudut pandang refleksi benda mengkilap yang jatuh di lantai.


Flashback dipadu dengan durasi yang panjang mungkin menjadi hal yang paling revolusioner kala itu mengingat sebelumnya belum ada satupun film yang menggunakan alur maju mundur, lama pula. Sayangnya, dalam penerapan alur ini masih belum bagus sehingga cerita terkesan berantakan dan membingungkan. Kebosanan juga sudah memuncak sebelum mencapai klimaks di akhir cerita. Apalagi backsound yang digunakan juga masih monoton khas film lawas dengan alat musik yang terdengar menyayat-nyayat.

Kelemahan itu tentu wajar adanya melihat waktu itu belum ada teknologi canggih seperti sekarang. Secara keseluruhan teknis pembuatan film, Orson Welles berhasil memanfaatkan teknologi yang ada untuk membuat karya luar biasa yang menginspirasi sineas-sineas lain untuk terus mengeksplor berbagai macam teknik.

Dari isi cerita, Citizen Kane sangat bagus membawakan pesan “harta bukan segala-galanya”. Keterpurukan Kane tak lain karena dia menganggap bahwa dengan uang dia mampu memberikan kebahagian kepada istri-istri dan anaknya, namun pada kenyataannya, satu per satu mereka pergi meninggalkan Kane. Akhirnya, dalam kesendirian menjelang detik-detik kematiaanya, Kane baru menyadari bahwa kebahagiaan yang ia bangun berlandaskan materi itu semu. Hingga ia kembali menerawang jauh ke belakang di masa kecilnya, ketika sebuah kebahagian hadir hanya karena sebuah papan seluncur bertuliskan rosebud.

image source:
http://www.edzards-filmriss.de/wp-content/uploads/2010/07/citizen-kane-poster.jpg
http://www.oddfilms.com/blog/media/Citizen-Kane-globe.jpg

The Bicycle Thieves: Ketika Korban Menjadi Pemeran


Ladri di Biciclette, sebuah film neorealis tahun 40an yang diangkat dari kehidupan sehari-hari, sarat makna dengan segala kesederhanaannya. Ladri di Biciclette atau yang lebih populer disebut Bicycle Thieves merupakan film buatan Vittoria De Sica yang menceritakan tentang keadaan Italia pasca perang dunia kedua. Fokus kepada sebuah keluarga miskin yang mati-matian mempertahankan harta berharganya, sepeda. Meski hanya mengangkat hal yang remeh temeh, justru di sisi inilah yang mendekatkan film ini dengan penontonnya. Bolehlah kita mengatakan kalo inception itu keren, alurnya tidak beraturan, perlu ekstra berfikir untuk mencernanya, tetapi inception jelas kalah jauh dalam hal kedekatan dengan penonton. Inception mengangkat hal-hal abstrak tentang konsep mimpi, sesuatu yang jauh dari angan-angan manusia, sedangkan Bicycle Thieves terlalu jujur dengan cerita pencuri sepeda yang mungkin saja kita bisa mengalaminya.

Tidak ada efek-efek komputer yang maha canggih, tidak ada artis seksi macam Cameron Diaz, tidak ada lighting-lighting buatan, dan tidak ada – tidak ada lain yang ada pada film-film mutakhir. Lagi-lagi tentang kesederhanaan, film berdurasi 93 menit ini tidak menyuguhkan scene yang amazing, masih menggunakan film hitam putih. Lamberto Maggiorani sebagai pemeran utama dan aktor-aktor lainnya dibiarkan tampil natural tanpa makeup dalam film ini. Setting Itali sebagai negara yang kalah perang sepertinya mampu menampilkan scene-scene lebih dramatis daripada efek-efek komputer nan canggih. Begitu juga pemeran yang terlibat, mereka bukanlah manusia-manusia yang bisa dikatakan menarik secara mata bak artis-artis hollywod.

Film ini bearawal ketika Antonio Ricci yang diperankan oleh Lamberto Maggiorani mendapatkan pekerjaan sebagai penempel poster. Masalah pertama muncul saat pekerjaan yang dilimpahkan kepadanya mewajibkan untuk memiliki sepeda. Ricci yang tidak memiliki sepeda pulang dengan wajah muram karena takut kesempatan yang didapatnya akan sirna diambil orang lain. Di sini, Maria istri Ricci yang diperankan oleh Lianella Carell tampil begitu menyentuh dengan menjual semua sprei untuk ditukar dengan sepeda.

Naasnya, dihari pertama Ricci bekerja, sepeda yang dibeli dengan susah payah tersebut digondol pencuri ketika Ricci sedang bekerja menempel poster. Posisinya yang berada di atas tangga menguntungkan pencuri bertopi Jerman untuk segera melesat melarikan diri hanya dalam sekejap mata. Ketika itu juga Ricci dengan sekuat tenaga mengejar pencuri sepeda dengan berlari, menumpang mobil lewat, hingga pengejarannya nampak sia-sia.


Scene-scene berikutnya manampilkan usaha keras Ricci dan anaknya Bruno menyusuri Roma dengan harapan sepeda itu bakal ditemukan. Dibantu temannya, Ricci mendatangi pasar barang bekas, dengan teliti mereka perhatikan satu persatu semua barang ditempat itu. Sampai akhirnya dia melihat kakek tua sedang bertransaksi dengan seseorang yang ia duga sebagai pencuri sepeda. Kejar-kejaran pun terjadi, sayangnya pencuri tersebut tidak tertangkap.

Ricci yang mulai emosi mendatangi kakek-kakek tadi dan memaksanya untuk menunjukkan dimana pencuri itu berada. Akhirnya kakek tersebut mau buka mulut, Ricci mendatangi pencuri sepeda itu dan melabraknya. Untuk kesekian kali Ricci harus menerima kenyataan, pencuri tersebut sangat licik dengan pura-pura sakit, orang-orang yang mulai berkerumun tidak percaya bahwa pencuri itu mencuri sepeda Ricci. Polisi yang dipanggil Bruno juga tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada bukti yang menguatkan.

Film ini berakhir tragis dengan aksi Ricci yang pada akhirnya memerankan posisi pencuri itu sendiri. Frustasi dengan cobaan yang datang bertubi-tubi, Ricci melihat ada kesempatan untuk mencuri sebuah sepeda yang diparkir di sudut kota yang sepi. De Sica memberikan ending yang sangat bagus dengan kegagalan pencuri amatir ini. Terlebih ketika scene yang memperlihatkan Bruno menangis terisak melihat ayahnya dikeroyok massa. Beruntung si pemilik sepeda memaafkan Ricci karena tidak tega melihat Bruno menangis.

Natural, simpel, sederhana dan dekat itulah gambaran tepat untuk mendeskripsikan film ini. Dari situlah kekuatan film jujur ini. Tidak salah jika film ini mendapatkan banyak penghargaan bergengsi kelas dunia, bahkan sebagai film terbaik sepanjang masa.

image source:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyRaW00csQOqGdBTXrTc86ujMnBpmUIzsUr_BvOXbkx8X5BkHBdxaoVz0sj9ALJ2sJUHfWIKo8-k4oUHMgFZ4VY3cUP_y6LznUAFaOMDicPK_dU7egf3ubUqpuMWZcsnEafj4rXKSz9Zes/s1600/BICYCLE+THIEF.jpg
http://www.moviediva.com/MD_root/MDimages/Copy_of_BikeT2.jpg

Selasa, 01 Februari 2011

Sego Jagung Mbah Joyo

Di pinggir jalan dekat Alun-alun Temanggung, seorang nenek berumur 80 tahun sedang ‘khusyuk’ meracik makanan. Menggunakan pincuk (terbuat dari daun pisang yang dilapisi koran), Mbah Joyo menyajikan makanan khas Temanggung yang sudah sangat jarang ditemui, sego jagung. Jagung giling rebus, sayur pepaya muda, tahu dan ikan asin dicampur jadi satu.

Sudah dua puluh tahun lebih Mbah Joyo berjualan sego jagung. Awalnya, Mbah Joyo berjalan keliling kota menjajakan dagangannya, namun sejak taun 80an mulai menetap di depan pertokoan dekat Alun-alun Temanggung. Langganannya banyak, bahkan tidak sedikit yang berasal dari luar kota.

Silahkan mampir, dijamin JOSS!! #gurihgurihgalau hihiiiii







Selasa, 25 Januari 2011

Kethoprak-Kethoprak Milenium


Image source: http://www.impossibletv.com/assets/images/content/talent%20show_02.jpg


Tiga pasang mata tengah asik memandang sebuah layar kecil dua warna di sudut ruang remang-remang. Gambar-gambar bergerak itu menampilkan lawakan-lawakan khas Topan Lesus dalam sebuah program televisi bertajuk Kethoprak Humor. Seorang bocah berponi lurus tampak ikut terhibur dengan sajian televisi yang dipilih oleh dua orang berambut putih di samping kanan kirinya. Meski kadang hanya nyengir tidak paham dengan “gojek tua” yang dilontarkan, bocah itu nampak menikmati saat saat malam Minggu bersama Kakung dan Uti-nya. Hampir setiap akhir pekan, hingga beberapa tahun berlalu seiring munculnya “kethoprak-kethoprak” lain yang lebih menarik.

Rasa-rasanya baru beberapa hari yang lalu saya melihat Topan beradu lawak dengan Lesus. Hanya dua orang itu yang masih teringat jelas. Guyonannya segar, meski kala itu saya sering tidak paham dengan apa yang mereka banyolkan, namun saya cukup terhibur. Ya, sekitar lima belas tahun yang lalu ketika saya masih duduk di bangku TK, kala itu saya lebih sering tidur di tempat Kakung daripada di rumah sendiri. Saya ingat betul setiap sabtu malam tak ada aktifitas lain selain menonton Kethoprak Humor di RCTI. Bukan karena maniak kethoprak, tetapi karena tidak ada sajian yang lebih menarik. Beberapa stasiun televisi lain seperti TPI dan Indosiar masih terlalu belia untuk membuat konsep acara yang mampu menyedot banyak penonton. Baru pada awal tahun 2000 banyak variasi acara bermunculan, seperti program kuis, talkshow, tak terkecuali talent show.

Talent show atau yang biasa disebut ajang pencarian bakat merupakan salah satu program reality show. Secara garis besar, konsep program ini ialah mengadu bakat-bakat terpilih di sebuah panggung yang disiarkan langsung melalui televisi dalam periode waktu tertentu. Ada berbagai macam bakat yang diadu seperti menyanyi, menari, sulap dan bermain musik.

Kebanyakan diawali dengan seleksi di beberapa daerah, hingga terpilih beberapa nominasi untuk maju ke babak final. Jumlah dan segmentasinya beragam, ada yang khusus untuk anak-anak, wanita, umur tertentu dan kriteria-kriteria lainnya . Para nominator inilah yang akhirnya mendapatkan kesempatan untuk unjuk gigi di sebuah panggung nan megah dengan jutaan pasang mata penonton. Setiap minggu, akan ada satu orang yang tersisih dan tidak bisa melanjutkan ke babak selanjutnya, begitu seterusnya hingga terpilih satu orang pemenang.

Meskipun konsep inti meniru program-program dari luar negeri, tak menjadi masalah ketika akhirnya program semacam ini disukai banyak pemirsa televisi Indonesia. Hal ini wajar karena di tahun-tahun itu, program televisi masih sangat monoton. Semakin berkembangnya industri televisi dan teknologi studio, hadirlah program-program dengan konsep yang lebih menghibur.

Pada tahun 2003, Indosiar menggebrak lewat Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang mengadopsi acara serupa dari Meksiko, La Academia. Sebagai pioner talent show di Indonesia, AFI menuai kesuksesan dengan meraih rating tertinggi versi Neilsen hingga berbulan-bulan. Jam tayangpun prime time, setiap malam akhir pekan. Sedikitnya ada lima generasi telah lahir dari acara ini, bahkan merambah ke segmen anak-anak dengan munculnya AFI Junior.

Indosiar cukup apik menayangkan AFI dengan konsep yang menyentuh hati penonton. Lihat saja disetiap eliminasi, keharuan sengaja dihadirkan agar penonton merasa dekat dengan acara ini. Ditambah lagi adanya acara-acara tambahan seperti Diary AFI yang mengulas kegiatan akademia (sebutan untuk kontestan AFI) saat dikarantina. Tanpa sadar, kedekatan ini dibangun oleh Indosiar setiap harinya, sehingga ada rasa sedih ketika melihat jagoannya harus tereliminasi. Latar belakang akademia yang beragam juga tak luput dari sorotan kamera. Ingat Veri AFI? Juara AFI generasi pertama ini adalah seorang penjual cendol. Cerita-cerita semacam inilah yang menjadi bumbu penyedap sebuah program talent show.

Tak mau kalah dengan Indosiar, dengan mengusung basic yang sama, RCTI menghadirkan Indonesian Idol. Lagi-lagi hasil jiplakan acara luar negeri, Indonesian Idol mengadopsi acara Pop Idol dari Inggris. Seperti halnya AFI, Indonesian Idol juga mendapat sambutan yang luar biasa dari pemirsa televisi Indonesia. Persaingan antar stasiun televisi sangat terlihat dengan waktu penayangan yang sama di akhir pekan. Indonesian Idol mengambil alih posisi top rating versi Neilsen di musim keduanya, mengalahkan AFI yang sudah masuk di musim ketiga. Bahkan berturut-turut pada tahun 2006-2007 Indonesian Idol meraih penghargaan Music & Variety Show Terbaik diajang Panasonic Award.

Begitu juga yang dilakukan oleh stasiun televisi lain. TPI misalnya, sukses menghibur para pecinta dangdut dengan KDI-nya. Kemudian muncul Audisi Pelawak TPI (API) yang mencoba mengadu bakat-bakat pelawak. Beberapa program silih berganti seperti Mama Mia, Indonesian Super Model dan Super Mama Seleb Show, Pemilihan Putri Indonesia, Miss Indonesia, The Master dan lain-lain.

Indonesia Mencari Bakat (IMB) yang ditayangkan TRANS TV mungkin yang paling hot saat ini. Dengan mengusung konsep yang cukup berbeda dari program talent show sebelumnya, IMB mampu menyihir jutaan penonton televisi Indonesia. Tak lagi sejenis, berbagai macam bakat seperti menyanyi, menari dan komedi diadu dalam satu panggung. Langkah yang diambil TRANS TV tepat dengan menayangkan IMB sebelum Indonesia’s Got Talent (IGT) digelar. Tentu pamor IMB lebih tinggi karena dianggap sebagai pioner. Padahal sebenarnya, Fremantle, produser program televisi internasional telah menawarkan licensi IGT kepada TRANS TV untuk membelinya. Namun negosiasi tersebut gagal dan setelahnya TRANS TV buru-buru membuat konsep program yang sebenarnya mirip dengan IGT. Walhasil, IMB lebih dulu tayang sebelum IGT, yang akhirnya dibeli oleh Indosiar. Meski terkesan mencuri ide, pihak TRANS TV menegaskan di situs resminya bahwa IMB merupakan buah pemikiran putra putri bangsa. Bahkan tagline-nya pun “Dari Indonesia, Oleh Indonesia dan Untuk Indonesia”.

Melihat perkembangan variasi program talent show dari dulu hingga kini, sepintas terlihat penuh persaingan. Stasiun-stasiun televisi terus berlomba untuk memproduksi tayangan yang disukai pemirsa. Jika kita tengok sedikit teori tentang media massa, ada beberapa fungsi media massa, yaitu to inform, to educate, dan to entertain. Televisi sebagai salah satu media massa saat ini lebih condong ke fungsi terakhir, to entertain. Trinitas fungsi media yang katanya sulit untuk dipisahkan tersebut nyata-nyatanya berat ke arah hiburan.

Televisi swasta lebih dikembangkan sebagai what the people want dan bukan what people need. Ini pun akhirnya berorientasi “pasar”. Ya, lebih kepada aspek disukai, bukan yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat. Ujung-ujungnya rating akan naik dan pendapatan iklan melambung. Bayangkan saja, uang sebesar 40 jutaan mengalir ke stasiun televisi untuk setiap 30 detik iklan di acara-acara prime time. Bisa dihitung sendiri berapa pendapatan dari acara-acara populer macam talent show ini.

Jika dikaji lebih dalam, hal ini tentu bukan melulu karena kesalahan orientasi stasiun televisi. Masyarakat sebagai penikmat televisi juga turut andil dalam penentuan program-program televisi. Jika tadi dikatakan bahwa televisi condong ke arah hiburan, memang faktanya demikian. Dan penyebabnya tak lain karena orientasi masyarakat sendiri yang menganggap bahwa televisi adalah media penghibur. Nurudin dalam bukunya Televisi Agama Baru Masyarakat Modern menyebut ini sebagai sebuah pergeseran, dimana masyarakat menganggap kehadiran televisi sebagai fitrah menghibur. Maka tak salah ketika saya menganggap talent show dan program-program sejenis sebagai Kethoprak-kethoprak Milenium, program-program keluaran milenium kedua lebih tepatnya. Fungsi hiburannya kuat, tidak beda dengan lima belas tahun lalu ketika saya ikut terkekeh melihat Topan Lesus beradu lawak di Kethoprak Humor, terhibur.

Referensi
Nurudin. 1997. Televisi Agama Baru Masyarakat Modern. Malang: UMM Press
http://catatanhery.wordpress.com/2009/02/08/opini/
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=58531
http://www.indosiar.com/program/resensi/67466/fenomena-acara-pencari-bakat-di-layar-kaca-indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesian_Idol
http://indonesiamencaribakat.transtv.co.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Akademi_Fantasi_Indosiar
Gambar
http://www.impossibletv.com/assets/images/content/talent%20show_02.jpg