Jumat, 24 September 2010

Photos - Rumah Kami, Pagi Ini

Sayup sayup gemericik hujan perlahan menghilang. Kaos kaki, kaos tangan, jaket tebal dan selembar alas terbuat dari rajutan rotan melindungiku dari cuaca dingin semalaman. Bisa kurasakan kerasnya perjuangan rotan itu bertarung melawan aliran dingin di lantai ruangan tiga kali tiga meter ini. Sedangkan disekelilingku ada tumpukan buku, koran bekas, dan arsip-arsip yang beberapa terburai dari dua almari ukuran besar. Malam tadi mereka berisik sekali, sepertinya mereka sedang bertarung melawan usia, sudah bertahun-tahun mereka mendiami ruang ini, kelembapan membuat mereka semakin sering merintih. Aku sebagai penghuni baru, tidak berani-berani mengusik, sepertinya diam dengan mata terpejam adalah pilihan yang paling bijak, mengantarku ke dimensi yang berbeda.

Partikel terang mulai berpendar dan mengusik khayalan-khayalan yang kurajut sejak empat jam yang lalu. Kuloloskan mereka memasuki pupil mataku, menerobos dengan ganas bahu membahu, menyentak. Luar biasa, dalam hitungan detik partikel-partikel itu berubah menjadi spirit, menggerakkan sel-sel yang sedang mati suri. Semua kembali bekerja, organku hidup kembali, kugerakkan tanganku perlahan, meraba kiri kanan. Kudapatkan apa yang aku mau, 05:15.

Kulangkahkan kaki keluar dari ruangan ini menuju ruang tengah, sesosok manusia masih asik dengan mimpi-mimpinya, begitu juga di ruang tamu dan ruang komputer, beberapa ada yang saling membelakangi, ada pula yang diatas kursi. Nyawa mereka masih melayang-layang di loteng, menari-nari seperti balerina. Kubiaran mereka, kuurus mukaku yang bau rotan, bersentuh air dipojok kamar mandi. Aku benar-benar hidup.

Kumasuki lagi ruangan dimana aku menyimpan mimipi-mimpi semalam, kugelar kain panjang, kuangkat kedua tanganku, perlahan aku sudah terhanyut dalam komunikasiku dengan Tuhan. Kulantunkan syair cinta kepada Dzat yang memberiku kehidupan.

Satu dua kehidupan mulai terasa, secara bergantian mereka berseliweran di belakangku, hanya dalam tempo seperempat jam saja, kembali sunyi. Ya, mereka hanya terbangun sebentar untuk menyapa Tuhan, kemudian meneruskan kembali episode khayal yang belum sempat klimaks. Sering juga aku demikian, tapi entah kenapa pagi ini suasana membawaku untuk tetap hidup, menggerayangi nuts nuts yang mengalirkan kata-kata di layar depan mataku. Sesekali aku tengok halaman depan lewat jendela bertralis besi ruangan ini, kunikmati pemandangan dedaunan basah hasil cumbuan hujan dan beringin besar. Aroma kelembabannya sengaja aku hirup agar menarik keluar racun-racun dalam organ nafasku, aku selami tiap detik yang menyegarkan ini.

Kuitari seisi rumah kehangatan ini, kulihat wajah-wajah jujur disetiap ruang yang aku singgahi, terbujur kaku, hanya suara udara yang berhembus keluar masuk dari tenggorokan mereka saja yang berirama, indah meski tanpa intonasi. Kurasakan dengan seksama melodi yang tercipta sambil kurekam visual-visual mengagumkan yang terjaring oleh mataku. Ada darah-darah pejuang di dalam tubuh-tubuh mereka, ada nada-nada pemberontak disetiap derap nafas mereka. Manusia-manusia yang menginspirasi dan berpengaruh dalam menentukan langkahku kedepan. Satu hal yang membuatku ada diantara mereka, cinta.

B21, 24 September 2010






5 komentar:

  1. keren nan, cocok kowe dadi novelis,hahaha
    cah komunikasi

    BalasHapus
  2. Tenane nan? alasannya karena cinta? hagz hagz, swt bgt tulisannya :)

    BalasHapus
  3. pandu: masih belajar

    ay: iya dooong.. bertahan satu C.I.N.T.A

    BalasHapus
  4. ihir...so sweet bgt deh,
    kata-kata terakhirnya cinta trus fotonya cowok semua, jangan-jangan ****
    hahaha

    BalasHapus
  5. zzzz.. cinta kepada sahabat apa yang salah???

    BalasHapus